Aku bukan Nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan Budha, bukan Protestan, bukan Westernis. Aku bukan Humanis. Aku adalah semuanya.
Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilaid an memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya remasuk, serta apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia.
Ketika mendengar kalimat-kalimat tersebut, memang telinga mendadak panas, tetapi, itulah kenyataan, sebuah kutipan catatan harian yang ditulis oleh Ahmad Wahib tertanggal 9 Oktober 1969. Yang sudah dibukukan dengan sedikit editan oleh Johan Efendi yang berjudul “Pergolakan Pemikiran Islam”. Yang kemudian dijadikan rujukan tentang akar pemikiran Liberalisme Islam di Indonesia.
Sebelum pemikiran Islam Liberal berkembang dan menjamur di kampus-kampus seperti sekarang, apa yang disebut oleh Islam Liberal kini dengan pluralism dan Inklusifisme, telah dibahas oleh tiga serangkai pelopor Islam Liberal 35 tahun lalu. Tiga orang itu adalah Ahmad Wahib, Johan Efendi dan Dawam Rahardjo denag diasuh oelh seorang Romo katolik di Yogya. Untuk pertama kalinya mereka mendiskusikan pemikiran-pemikiran Liberal dalam Islam. Boleh jadi inilah estafet pertama embrio Islam Liberal tercipta.
Pemikiran Islam Liberal
Pelan namun pasti pemikiran ini terus berkembang. Terlebih karena adanya sokongan dari barat yang notabenenya benci terhadap Islam. Sejak kekalahan mereka pada Perang Salib, musuh-musuh Islam telah mengubah strategi dalam menghancurkan Islam. Melawan Islam dengan cara fisik dianggaptidak lagi manjur. Cara yang ditempuh pun denagn bernuk-bentuk lain: Perang Pemikiran (Ghozwul Fikri). Mereka menghancurkan Islam dengan terlebih dahulu merosak pondasinya, yaitu pemikiran dan aqidah. Sehingga umat Islam tidak lagi memegang teguh Islam sebagai agamanya. Perang melalui jalur ini tentu saja dampaknya akan lebih dahsyat ketimbang melalui infasi militer.
Juga, Ahmad Wahid sendiri tumbuh besar dalam asuhan dua orang pastur. Keduanya adalah HJ Stolk SJ dan Romo Williem. Meski berdarah santri, penulis buku cikal bakal pemikiran Islam Liberal ini membasuh raung intelektualnya dalam lingkungan pastoral. Tentu, gaya berfikirnya tak ubahnya seperti para Romo yang mendidiknya. Terbukti tahun 1970, Ahmad Wahib sudah menuliskan bahwa sikap kita (muslim) terahdap ajaran islam, Qur’an dan lain-lain sudah harus diubah. Dari sikap seorang insan otoriter menjadi menjadi sikap insan yang merdeka, yaitu insan yang produktif, analsitis dan kreatif. Ahmad Wahib meninggal di usai muda dalam sebuah kecelakaan. Meski begitu, di usianya yang singkat itu dia tealh merumuskan buah pikirannya dalams ebuah buku yang selanjutnya menjadi referensi penitng pemikiran Islam Liberal.
Di era 1970-an ada nama tokoh Liberal yang tidak boleh dipandang sebelah mata, Prof. Dr. Harun Nasution. Lulusan Islamic Studies Mc Giil Unuiversity ini dikenal sebgai aktivis pengusung ide kebebasan berfikir, namun dalam perjalanannya berubah menjadi kebebasan yang kebablasan. Beliau juga dikenal sebagai peletak dasar sekulerisme dan liberalsime IAIN dan STAIN dengan dijadikannya buku beliau yang berjudul “Islam ditinajud ari Berbagai Aspeknya” sebagai buku wajib untuk mata kuliah Pengantar Agama Islam. Mata kuliah yang wajib diambil oleh seluruh Mahasiswa IAIN, STAIN dan UIN. Dalam bukunya, Prof. Rosjidi mantan menteri Agama RI yang pertama menyatakan, buku Harun tersebut abnyak banyak mengandung die-ide yang sangat berbahaya mengenai Islam. Salah satunya adalah penjelasan bahwa Islam memiliki posisi yang sama dengan Agama-agama lain.
Tokoh Islam Liberal
Setelah namanya meredup, estafet Islam Liberal dilanjutkan oleh seorang yang ‘dibapakkan’ oleh kelompok Islam Liberal, denga mengusung ide sekuleritas ke tengah masyarakat, namanya kian melambung. Beliau adalah Nurcholis Madjid. Untuk pertam kalinya, Cak Nur, demikian anak keturunan jombang ini sering disapa, memproklamirkan pikiran sekulernya.. Tepat tanggal 3 Januari 1970, dalam sebuah diskusi yang difasilitasi oleh PII, GPI dan HMI di jalan Menteng Raya 58, Nurcholis menyampaikan Kredonya dalam sebuah Makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Makalah Integrasi Islam”. Sejak saat itu, cak Nur berasa garis depan dalam jajaran kaum sekuler Islam yang mengusung pemisahan agama dan politik Indonesia. Dari pemikiran sekuler itu muncullah berbagai slogan, seperti “Islam Yes, partai islam No”. Padahal Islam tidak memisahkan politik dan agama. Bagi islam, keduanya adalah adalah satu kesatuan yang tak bias dipisahkan satu sama lain. Kemudian pada tahun 1992, Cak Nur menggegerkan umat Islam dengan pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta dengan judul “Beberapa Renungan tentang kehidupan Keagamaan di Indonesia”. Dalam pidato itu, alumni Chicago University AS ini mengkritik fundamentalisme agama yang dianggapnya lebih berbahaya dari pada narkoba.
Besar betul peranan sosok Nurcholis Madjid di depan para simpatisan pemikir sekuler dan liberal. Bahkan oleh Ulil Abshar Abdallah sendiri, cak Nur ditempatkan sebagai tokoh yang telah membangun Makrokosmis yang harus diteruskan oleh generasi muda dengan mengisi tataran mikrokosmisnya. Bahkan ada yang menyebut pemikiran Cak Nur sebagai imperium atau dinesti yang telah berkembang di Indonesia telah berkembang di Indonesia. Hingga, seakan dialah orang yang ‘berjasa’ dalam mengkampanyekan pemikiran Liberal.
Generasi selanjutnya, estafet pemikiran liberal dipegang oleh Abdurrahman Wahid. Meski belum mampu menghapuskan jasa Nurcholis Madjid, pemikiran Liberal yang mencetsukan pluralism agama dinilai sebagai pemikiran brilian. Posisi orang yang tumbuh di lingkungan pesantren ini pun seakan mempermudahkannya untuk ‘mengegolkan’ pemikiran penyamaan agama yang digagasnya. Gus Dur begitu nama akrabnya, pernah menjadi orang ‘nomor satu’ di negeri ini, terlebih dia merupakan orang yang diagungkan di kalangan Nahdliyin. Dukungan masa yang tak sedikit jumlahnya itu menjadi salah saru faktor penting suksesnya pluralisme beranak pinak. Bahkan Gus Dur disebut-sebut sebagai bapak Pluralisme. Dalam pemerintahannya orang yang serign membuat kekonyolan ini menetapkan Kong Hu Chu sebagai agama resmi di Republik ini. Juga sering diadakannya do’a bersama lintas agama, karena menilai semua agama sama.
Selanjutnya bermuncullan para tokoh dan aktivis Islam Liberal. Yang kemudian membuat suatu wadah yang dinamakan Jaringan Islam Liberal. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya adalah Ulil Abshar Abdallah, Budhy Munawar Rahman, Luthfi Asyaukani, Siti Musdah Mulia, Ahmad Gaus AF, Masdar F. Mas’udi, Dr. Zainun Kamal dan lainnya. Meski di antara mereka tidak mengakui diri mereka aktivis JIL, namun pemikiran yang digagas tak ubahnya sebagai seperti aktivis JIL. Buku-buku yang didanai Barat dengan dana yang tak sedikit pun lahir dari tangan-tangan mereka. Yang sebagian besarnya dijadikan rujukan di kampus-kampus Islam Negeri. Selain JIL, Jaringan Intelektual Muda (JIM) menurut pakar perbandingan Mazhab hukum Islam, Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA. Pun merupakan kelompok Islam Liberal yang perlu diwaspadai.
Untuk melanggengkan pemikiran mereka kelompok Islam Liberal dan para pendukungnya mempunyai system kaderisasi yang patut diacungi jempol. Nampaknya mereka sudah berfikiran ke depan, mencari bibit-bibit untuk diamanahi memegang estafet liberal di generasi mendatang, yaitu memfasilitasi para mahasiswa untk belajar Islam (liberal) di Barat. Menurut data Direktorat Perguruan Tinggi Islam Depag tahun 2005, pengiriman mahasiswa untuk belajar Islam ke Negeri Barat dimulai ahun 1950-an. Dengan mengirimkan 3 anak negeri belaajr di Mc Gill’s Institute of Islamic Studies (MIIS), Kanada. Di tahun 1970-an Indonesia kembali mengirim 17 orang Mahasiswanya ke Institut yang sama. Pengiriman ini di atas beasiswa dari CIDA dan Hazen Foundation. Di tahun-tahun berikutnya frekuensi pengiriman Mahasiswa ke negeri barat terus bertambah. Semua ini tak lepas dari kerjasama yang dijalin Indonesia dengan beberapa begara barat. Baik kerjasama antar dua universitas, maupun kerjasama antar departemen Agama dan Universitas Negara Barat.
Selanjutnya, belajar islam di barat punya gaya baru, tidak dengan berangkat ke sana, tapi tetap belajar di Indonesia. Hanya saja, system belajarnya meniru model belajar Islam di Barat. Bertempat di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Tahun 2007 dibuka studi agama yang bernama “Inter Religious International Ph.D Program”.
Estafet Islam Liberal terus berkelanjutan, kini anak-anak kita terancam terbibiti pemikiran-pemikiran mereka. KArena buku-buku pelajaran Pendidikan Agama Islam dan guru-guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam baik SD, SMP maupun SMA berasal dari mereka. Data yang berkembang, mayoritas guru Pendidikan Agama Islam lulusan Universitas-universitas Islam Negeri yang sudah terkontaminasi virus Islam Liberal. Sungguh, pemikiran ini sudah sangat menggurita.
Saudaraku, pemikiran Islam Liberal sudah sangat mengkhawatirkan. Cara paling ampuh untuk mencegah penyebarannya yaitu membentengi diri dan keluarga terutama anak- anak kita dengan aqidah dan pemikiran Islam yang benar dengan berlandaskan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Wallahua’lam bish Showab.
Author : muhammad nasrul
Tulisanku yang masuk majalah An-Najah edisi Maret 2011. Lihat juga di http://nasrulzone.blogspot.com
0 Komentar